Senin, 13 September 2010

WADHI’AH DALAM PERBANKAN SYARIAH

PENGERTIAN WADI’AH
 
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga1. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.2
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh3, yaitu :

  1. Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab iya atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.

  1. Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

menurut HASBI-ASHIDIQIE al-wadi’ah ialah :
akad yang inrinya minta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip.”
menurut SYAIKH SYIHAB al-DIN al-QALYUBI wa SYAIKH Umairah al-wadi’ah ialah :
benda yang diletakan pda orang lain untuk dipeliharanya
menurut IBRAHIM al-BAJURI berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
akad yang dilakukan untuk penjagaan”
menurut ADDRIS AHMAD bahwa titipan adalah barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.4

1 Fadly. Bab wadhi’ah ( titipan ). ( online ). (http://alislamu.com/index.php?Itemid=22&id=283&option=com_content&task=view diakses pada 07 10 2009)
2 Administrator. Prinsip Al-Wadiah pada Perbankan Syariah ( online ). (http://www.vibiznews.com/articles_financial_last.php?id=24&sub=article&month=OKTOBER&tahun=2007&awal=0&page=syariah diakses pada 07 10 2009 )
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. ( Beirut : Darul Kitab Al Aroby, 1987 ) hal. 3
3 Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah ). ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 245
4 Triandaru, Sigit, Budisantoso, Totok. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. ( Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2006) hal. 161

WADHI’AH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Dalam perbankan Syariah terdapat beberapa prinsip yang diadobsi dalam pengelolaanya, yang ditujukan untuk menggalang dana untuk membiayai operasinya. Sumber dana dalam perbankan secara umum ada 3, yaitu dari bank sendiri, yang berupa modal setoran dari pemegang saham, dari masyarakat, yang berupa simpanan dalam bank tersebut. Dana dari masyarakat ini adalah sumber dana terpenting bagi bank, dan merupakan keberhasilan bagi bank apabila dapat membiayai operasinya dari sumber dana ini.Dan berikutnya adalah dana dari lembaga lain, yang berupa kredit dari BI, pinjaman dari bank lain dan lain sebagainya.
Secara umum, kegiatan penghimpunan dana perbankan dari masyarakat terbagi dalam 3 jenis, yaitu simpanan giro ( demand deposit ), simpanan tabungan ( saving deposit ), simpanan deposito ( time deposit).


  • Pengertian simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau yang dapat dipersamakan dengan itu.
  • Rekening giro menurut Undang Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.


  • Pengertian tabungan menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya banya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  • Deposito menurut UU Perbankan nomor 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
Secara umum, masyarakat mengenal simpanan dengan sebutan tabungan. Padahal secara operasionalnya konsep yang berjalan antara simpanan atau wadhi’ah dengan tabungan. Tabungan adalah sebagian pendapatan masyarakat yang tidak dibelanjakan disimpan sebagai cadangan guna berjaga-jaga dalam jangka pendek.
Faktor-faktor tingkat Tabungan :
  1. Tinggi rendahnya pendapatan masyarakat
  2. Tinggi rendahnya suku bunga bank
  3. Adanya tingkat kepercayaan terhadap bank
Dalam tabungan sudah pasti nasabah berlomba – lomba untuk mencapai tingkatan tertentu guna meraih keuntungan sebesar – besarnya yang ditawarkan oleh bank yang berupa bunga. Dalam wadhi’ah tidak terdapat bunga yang ditawarkan atau diakadkan di muka, sehingga ia murni penitipan dan bukan penginventarisan.
Istilah bank syariah atau bank bagi hasil dapat diterjemahkan menjadi lebih dari satu pengertian, terutama bila dikaitkan dengan kegiatan operasionalnya. Agar lebih terarah maka bank Indonesia memberi pedoman dan prinsip – prinsip yang harus dijalankan oleh bank syariah di Indonesia yang dituang dalam UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, UU nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992, dan SK Dir BI nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang berdasarkan bank berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
    1. Giro
    2. Tabungan
    3. Deposito
    4. Dan bentuk lainnya.
Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:
      1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
      2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
      3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
      4. Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Paparan diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya sama.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Rasulullah SAW bersabda : “ berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik – baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar. “( HR. Muslim ).
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki.
Dewasa ini banyak bank islam di luar negeri yang mengembangkan konsep wadhi’ah yang dipadukan dengan konsep mudhorobah. Iran giro dijalankan dengan prinsip qard al hasan dan di malaysia dioperasikan dengan prinsip mudharabah. Dalam hal ini dewan direksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan prosentase dari keuntungan yang diterima dari dana wadhi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.


HUKUM SYAR’I WADI’AH

Apabila seseorang menitipkan barang kepada saudaranya, maka ia wajib menerima titipan tersebut, bila ia merasa mampu menjaganya, hal ini termasuk dalam rangka tolong menolong dalam ketakwaan dan kebajikan. Dan disini penerima titipan wajib mengembalikan titipan tersebut kapanpun penitip tersebut mengambil kembali titipannya. Adapun landasannya adalah :

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An-Nisaa’: 58).

jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah: 283).


Dan sabda Rasulullah saw:

“Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 240, Tirmidzi II: 368 no: 1282 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 450 no: 3518).


ادالأمانة الى من ائتمنك و لا تخن من خانك (رواه ابو داود و الترمذى و الحاكم )


“ serahkanlah amanat kepada orang yang dipercayai anda dan janganlah menghianati orang yang menghianati anda “ ( HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).

Ibnu umar berkata bahwasanya rasulullah SAW bersabda “ tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada sholat bagi yang tidak bersuci. ( HR. Thabrani ).


wadhi'ah

Rukun Wadhi’ah

Menurut imam Hanafi, rukunnya hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul.

Tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukunnya ada tiga, yaitu orang yang berakad, barang titipan dan shighah ijab dan kabul.


Syarat – syarat wadhi’ah

Adapun syarat bagi orang yang berakad adalah ;

Menurut Hanafi : mumayyis atau berakal dan diijinkan oleh walinya. Dalam hal ini mereka tidak menyaratkan baligh.

Menurut jumhur ulama : baligh, berakal dan cerdas.

Dalam benda atau obyek wadhi’ah, disyaratkan barang tersebut jelas dan dapat dipegang.

Dalam akadnya terdapat sifat yang mengikat kedua belah pihak dan bersifat amanat. Tidak ada ganti rugi atau dhamaan bila terjadi kerusakan kecuali bila disengaja. Dan dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

ليس على المستودع غير المغل ضمان ( رواه البيهقى و الدر قطنى )

“ orang yang dititipi barang apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi “ (HR. Baihaqy dan daru Quthny).

“ tidak ada terhadap orang yang dipercaya yang memegang amanat.” ( HR. Daru Quthny ).

Maka bila diisyaratkan ganti rugi dalam wadhi’ah maka akad tersebut tidak sah.

Tetapi ulama fiqh berpendapat bahwa sifat amanat pada wadhi’ah dapat menjadi dhamaan apabila terjadi kemungkinan – kemungkinan seperti di bawah ini :

1.      Barang tersebut tidak dapat dipelihara oleh yang dititipi.

2.      Barang tersebut dititipkan lagi kepada seseorang yang bukan di dalam tanggungjawabnya.

3.      Barang tersebut dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.

4.      Orang yang dititipi mengingkari adanya titipan padanya.

5.      Orang yang dititipi mencampur barang tersebut dengan barang pribadinya.

6.      Orang yang dititipi tidak menepati persyaratan yang ditentukan penitip.


HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN

Benda-benda titipan ada dua macam yaitu :

Sunnat,wajib,haram,dan makruh secara lengkap dijelaskan sebagai berikut :

1.      Sunat, disunatkan menitipkan pada orang yang terpercaya kepada dirinya bahwa ia sanggup menerima benda-benda yang ditiutipkan kepadanya.

2.      Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipkan pada seseorang yang terpercaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut sementara oarng lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercay untuk memelihara benda-benda tersebut

3.      Makruh, bagi orang yang dipercay kepada dirinya sendiri bahwa ia mwmpu menjaga benda-bena titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda titipan atau menghilangkannya.

4.      haram,apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.


Macam – macam wadhi’ah

Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:

1.      Wadhi’ah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya. Merupakan akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan yang mana pihak tersebut dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dan bertanggung jawab atas titipan tersebut bila terjadi kerusakan atau kelalaian dalam menjaganya dan keuntungan dari pemanfaatan barang tersebut menjadi hak penerima titipan yang memanfaatkan barang tersebut.


2.      Wadhi’ah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Akad dimana pihak penerima tidak diperkenankan untuk memanfaatkan barang titipan tersebut dan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan ataupun kelalaian yang bukan disebabkan oleh penerima titipan.Dalam hal ini biaya perawatan barang dibebankan pada pemilik barang tersebut.


PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT
WADIAH BANK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal I angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk kantor cabang dan atau
kantor cabang pembantu dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah;
3. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti
penitipan dana wadiah;
4. Penitipan Dana Wadiah adalah penitipan dana berjangka pendek dengan
menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Bank
Syariah atau UUS;
5. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima Penitipan Dana Wadiah dari Bank Syariah
atau UUS.
(2) Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia.

Pasal 3
(1) Jumlah dana yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
sekurang-kurangnya Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah);
(2) Jumlah penitipan dana di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)
hanya dapat dilakukan dalam kelipatan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
Rupiah).
Pasal 4
(1) Penitipan Dana Wadiah dapat berjangka waktu 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas)
hari, dan 28 (dua puluh delapan) hari.
(2) Bank Indonesia akan mengumumkan jangka waktu Penitipan Dana Wadiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari Penitipan Dana Wadiah.

Pasal 5
(1) Penitipan Dana Wadiah tidak dapat diambil kembali oleh Bank syariah atau
UUS sebelum berakhirnya jangka waktu Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat mengakhiri Penitipan Dana
Wadiah sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1).

BAB II
KARAKTERISTIK
Pasal 6
(1) SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless).
(2) SWBI tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable).

BAB III
PENYELESAIAN PENITIPAN DANA WADIAH
Pasal 7
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal permohonan.
(2) Bank Syariah atau UUS wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro
Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank Indonesia pada waktu penyelesaian
Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS
di Bank Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(4) Dalam hal saldo rekening giro Rupiah Bank Syariah a tau UUS tidak mencukupi
untuk penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) maka permohonan Penitipan Dana Wadiah dibatalkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 8
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah pada tanggal jatuh waktu dilakukan
dengan cara mengkredit rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank
Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal tanggal jatuh waktu Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah hari libur maka penyelesaian Penitipan Dana Wadiah
dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

BAB IV
PEMBERIAN BONUS
Pasal 9
Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 ayat (1).

BAB V
SANKSI
Pasal 10
(1) Untuk setiap pembatalan transaksi Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (4), Bank Syariah atau UUS dikenakan sanksi
berupa:
a. surat peringatan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 1
0
/00 (satu perseribu) dari Penitipan Dana
Wadiah yang dibatalkan atau sebanyak-banyaknya Rp1.000.000.000,00
(satu miliar Rupiah).
(2) Dalam hal Bank Syariah atau UUS mendapat sanksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
pembatalan pertama maka Bank Syariah atau UUS dimaksud tidak
diperbolehkan mengajukan permohonan Penitipan Dana Wadiah selama 7
(tujuh) hari sejak tanggal dikeluarkannya surat peringatan ketiga.

BAB VI
PENUTUP
Pasal 11
SWBI yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan,
tetap tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/9/PBI/2000
tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia sampai dengan
SWBI tersebut jatuh waktu.

Pasal 12
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13 …

- 7 -
Pasal 13
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004

Tidak ada komentar: