Selasa, 14 Juli 2009

KEKUATAN HUKUM E-MAIL DALAM PROSES PERSIDANGAN PERDATA


A. Latar Belakang

Dewasa ini kemajuan di bidang teknologi informasi semakin pesat, seiring dengan perkembangan masyarakat. Salah satu bukti dari kemajuan di bidang teknologi tersebut dengan ditemukannya teknologi komputer, sebagai akibatnya timbul praktek Computerized RecordKeeping yang secara cepat menjadi prosedur yang normal dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Gejala ini membawa permasalahan di bidang hukum, terutama mengenai alat bukti data elektronik dalam bentuke-mail.

Dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat dan perkembangan telekomunikasi tersebut sangat memudahkan seseorang berkirim surat melalui e-mail sebab penggunaan e-mail tersebut dianggap murah dan cepat. Penggunaan e-mail juga sangat berperan sekali dalam berbagai kegiatan pendidikan, bisnis, perdagangan, sosial dan berbagai kegiatan lainnya. Untuk itu perlu adanya pengertian baru mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam proses persidangan dalam bentuk e-mail tersebut.

Di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara (perdata). Kiranya, tidak perlu menunggu lama agar persoalan bukti elektronik, termasuk e-mail, untuk mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.

Di China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal ContractLaw of People’s Republic of China 1999 menyebutkan, “bukti tulisan” yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain : surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili dan e-mail.

Dengan perkembangan teknologi keberadaan dokumen ini menjadi konsekwensi dalam praktek bisnis. Dalam praktek kegiatan bisnis yang menggunakan perangkat elektronik (komputer) dalam kegiatan bisnis, tidak ada satu alasan untuk menyetarakan dengan tulisan asli. Cakupannya begitu luas, seperti persetujuan, rekaman, kompilasi data dalam berbagai bentuk termasuk undang-undang, opini, dan hasil penelitian yang dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran informasi dengan menggunakan komputer.

Semua bukti tadi diakui secara hukum setelah mendengarkan pendapat (keterangan) seorang ahli. Dokumen tersebut juga bisa diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis tersebut.

Cara pertama disebut sebagai pengakuan yang didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data. Pengakuan tersebutsering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dalam bentuk e-mail dengan dokumen konvensional.

Cara kedua untuk mengakui dokumen elektronik adalah dengan menyandarkan pada hasil akhir komputer. Misalkan dengan out put dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telephon dan transaksi Automatic Transfer Money (ATM). Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik dalam bentuk e-mail tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain, data tersebut bisa dikesampingkan.

Sebenarnya ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu data elektronik mengenai pembuktiannya dalam sidang pengadilan.

Dalam praktek kegiatan bisnis, keberadaan dokumen elektronik memang tak bisa dihindari. Transaksi ekspor dan impor (antar negara) sudah sejak lama menggunakan Elektronik Data Interchange (EDI). Hampir semua negara di dunia menggunakan dan menerima suatu transaksi yang dilakukan dengan EDI.

Indonesia sudah menggunakan EDI sejak 1967 hingga saat ini. Namun, pengadilan sendiri belum menerima bukti elektronik dalam bentuk e-mail tersebut sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Tetapitidaklah tepat jika dikatakan Indonesia telah ketinggalandalam menggunakan data elektronik sebagai bukti transaksi.

Dengan adanya internet, seolah ada semacam pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam bentuk e-mail melalui transaksi. Jika dilihat dari esensi dari transaksi yang dilakukan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak keberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.

Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Apa yang diperjanjikan atau apa yang secara nyata tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Untuk pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik dalam bentuk e-mail sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal yang baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Karena memang saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu bukti elektronik dalam bentuk e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan yang dapat dipersamakan dengan surat otentik. Sebagai contoh tudingan monopoli ditujukan kepada Microsoft. Sebagian alat bukti yang disampaikan oleh pemerintah Amerika terhadap Microsoft adalah e-mail yang dikirimkan oleh pegawai di perusahaan Microsoft yang dikirimkan ke masing-masing pihak.

Secara teknis, bila terdapat satu standart keamanan untuk memberikan jaminan keotentikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut.

Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan atau penuntutan. Kemudian, penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (Request for Comment).

Selain itu, untuk lebih memudahkan, perlu diperhatikan juga keberadaan tanda tangan elektronik (Electronic Signature) dalam e-mail tersebut. tanpa adanya tanda tangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa.

Dalam memutus suatu perkara, tentu saja hakim harus mendasarkan ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian. Apalagi hampir di semua negara, termasuk Indonesia mengakui alat bukti surat sebagai salah satu bukti untuk yang bisa diajukan ke pengadilan.

Masalah otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan data elektronik dalam bentuk e-mail. Jika data atau dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan megikutinya.

Persoalannya, kita membicarakan tentang validitas dokumen elektronik sementara kita juga membicarakan metode otentikasi. Proses otentikasi adalah persoalan treknologi, sedang pengakuan dokumen elektronik dalam bentuk e-mail menyangkut pengakuan secara formal di dalam peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada tidak ada kemauan untuk mengakui dokumen elektronik dalam bentuk e-mail. Jika logika berpikir hanya melandaskan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan pun tidak akan pernah ada pengakuan terhadap dokumen elektronik dalam bentuk e-mail tersebut. Sekali lagi, dalam penguasaan teknologi, Indonesia tidaklah kalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Praktek bisnis di Indonesia sudah sejak lama menggunakan komputer. Dan hingga kini, tidak ada keberatan dari para pihak yang melangsungkan transaksi (pertukaran informasi).

Hanya kemudian terkesan Indonesia adalah negara terbelakang dalam penguasaan teknologi dari pada negara lainnya. Jika pemerintah dan masyarakat sudah siap, praktis masalah pengakuan dokumen elektronik dalam bentuk e-mail bukanlah satu hal yang tabu dalam praktek hukum di Indonesia.

Maka dari uraian tersebut perlu adanya pengaturan hukum yang jelas mengenai kekuatan e-mail sebagai proses pembuktian dalam persidangan, sehingga siapapun yang akan melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana komputer tersebut akan mempertimbangkan akibat dari perbuatannya tersebut dikarenakan telah ada peraturannya.


B.Perumusan Masalah

1. Bagaimana kekuatan e-mail dalam proses persidangan bila dikaitkan dengan pasal 164 HIR dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

2. Bagaimana aspek hukum penerapan E-mail dalam menegakkan hukum ?

Mari kita bahas bersama

Tidak ada komentar: