Minggu, 14 Juni 2009

Studi SKMHT Dalam Perjanjian KPR BTN

Studi SKMHT Dalam Perjanjian KPR BTN

Sri Turatmiyah

Intisari

UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat, diantaranya mengenai kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT atau notaris, Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan SKMHT.

Pembuatan SKMHT juga dimungkinkan dalam hal hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan belum mempunyai sertifikat. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah (KPR) debitur penerima kredit memberikan jaminan berupa rumah dan tanah yang dibeli dari fasilitas kredit bank tersebut. Pihak bank pemberi kredit biasanya hanya sebagai pemegang SKMHT saja, karena sertikat hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan belum dilakukan secara individual.

A. Pendahaluan

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan rakyat yang adil dan makmur. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Hal ini berakibat meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.

Mengingat pentingnya dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yan kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Dalam Pasal 51 UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat, yaitu Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti hypotheek dan credietverband. Selama 30 (tiga puluh) tahun lebih sejak mulai berlakunya UUPA, lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengatur secara lengkap.

Selama kurun waktu tersebut berlangsung Ketentuan Peralihan yaitu Pasal 57 UUPA, masih diberlakukan ketentuan hypotheek sebagaimana diatur dalam buku II KUHperdata, dan ketentuan credietverband dalam Stb. 1908.542. yang telah diubah dengan Stb.1937.190. Ketentuan-ketentuan tersebut berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah adat yang berlaku sebelum adanya hukum tanah Nasional. Oleh karena itu yang dalam kenyataannya idak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.

Tepatnya tanggal 9 April 1996 telah diundangkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) sebagai perwujudan dari ketentuan Pasal 51 UUPA tersebut di atas. Diberlakukannya undang-undang ini amat berarti dalam menciptakan unifikasi hukum Tanah Nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah.

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam praktek pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini telah terjadi hal-hal yang tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktek yang seolah-olah melembagakan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH).

UU No. 4 tahun 1999 tentang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat yang didalamnya anatara lain menegaskan atau meluruskan persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu, diantaranya mengenai kedudukan SKMHT yang isinya serta syarat berlakunya berbeda dengan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH) yang lalu.

Sebelum berlakunya UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau UUHT, jarang sekali atau bahkan tidak terjadi pihak-pihak menempuh langsung pembebanan hipotik, yang selalu terjadi adalah” pembuatan kuasa memasang hipotik

“(SKMH) dengan bebrapa alasan lain:

a. Proses penandatanganan akta hipotik sampai keluarnya sertifikat hipotik memerlukan waktu yang lama.

b. Biaya mahal.

c. Pihak kreditur yang sudah mengenal debitur dengan baik merasa tidk perlu menempuh pembebanan secara langsung karena merasa cukup aman.

Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT bahwa: “Kuasa untuk

Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau kerena telah habis jangka waktunya…” Pembuatan SKMHT hanya diperkenankan dalam keadaan khusus (Penjelasan Pasal 15 ayat (1)) yaitu:

a. Apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

b. SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh notaris atau PPAT.

Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbuatan hukum Membebankan Hak Tanggungan tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan dan memuat nama-nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang, juga obyek Hak Tanggungan.

Disamping hal tersebut di atas, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dandemi tercapainya kepastian hukum SKMHT dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan.

Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka SKMHT menjadi “batal demi hukum” (Pasal 15 ayat (6) UUHT.

Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT yang diberikan untuk menjamin kredit tertentu, seperti kredit program, kredit usaha kecil dan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenis. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas waktu berlakunya SKMHT untuk menjamin jenis-jenis kredit tertentu.

Pasal 1 ayat (20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 tahun 1996 tersebut di atas menentukan bahwa: “SKMHT untuk menjamin Perjanjian KPR berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan”.

Perjanjian Kredit Pemilikan rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal dengan tanahnya guna dimiliki atau dihuni. Dalam perjanjian ini biasanya debitur memberikan jaminan berupa rumah dan tanah yang dibeli dengan fasilitas kredit dari bank tersebut.

Tujuan dari penulisan ini adalah ingin mengetahui upaya-upaya pihak bank sebagai pemberi kredit dalam hal debitur penerima kredit tidak dapat memenuhi kewajiban (wanprestasi), dan bank pemberi kredit hanya sebagai pemegang Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

B. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Pemberian kredit pada umumnya dilakukan oleh pihak bank (kreditur) karena pendapatan dan keuntungan suatu bank lebih banyak bersumber dari pemberian kredit kepada debitur (nasabah). Hal ini sesuai dengan ketentau Pasal 3 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat.

Secara etimologi kata kredit berasla dari Yunani yaitu”credere” berarti kepercayaan. Hal ini mempunyai pengertian bahwa apabila seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank maka orang atau badan usaha tersebut mendapatkan kepercayaan dari bank pemberi kredit.

Dilihat dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran artinya pembayaran pengembalian atas penerimaan uang dan atau suatu barang tidak dilakukan bersamaan pada saat menerimanya, tetapi pengembaliannya pada masa tertentu yang akan datang.

Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan menentukan bahwa: “Dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan terhadap debitur”. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 8 tersebut ditegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka pihak bank sebelum memberikan kredit harus melakukan penilaian yang seksama terhadap:

a. Character (watak)

b. Capacity (kemampuan)

c. Capital (modal)

d. Collateral (agunan)

e. Condition of economy (prospek perusahaan dari nasabah)

Menurut Mariam Darus B., Bahwa perjanjian kredit bank ialah perjanjian Pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan antara keduanya. Penyerahan uang bersiffat riil, pada saat penyerahan uang dilakukan barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Ketentuan yang berlaku dalam perjanjian kredit adalah ketentuan yang ditetapkan sendiri oleh para pihak dan ketentuan umum dalam Buku III KUHPerdata.

Perjanjian kredit oleh bank kepada debitur (nasabah) selalu dimulai dengan permohonan oleh pihak debitur. Apabila bank menganggap permohonan tersebut layak, untuk diberikan maka akan terlaksana pelepasan kredit tersebut berdasarkan perjanjian. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana yang tersebut di atas, bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahulu dari penyerahan uang. Perjanjian tersebut bersifat konsensuil obligatoir, karena untuk terlaksananya dibutuhkan kata sepakat antara pemberi dan penerima kredit mengenai hubungan hukum antara keduanya yang menimbulkan hak dan kewajiban.

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit. Fungsi perjanjian kredit tersebut antara lain:

a. Sebagai perjanjian pokok artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang Menentukan ada tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya pengikatan jaminan.

b. Sebagai bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

c. Sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

Bank berhak menghentikan pemberian kredit dengan segera atau pada waktu yang ditentukan oleh bank dan dalam keadaan ini maka seluruh hutang dapat ditagih dengan seketika atau pada waktu yang ditentukan. Penghentian perjanjian ini dilakukan oleh bank apabila:

a. Si berhutang menurut bank telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syarat-syarat persetujuan atau pengakuan hutang atau syarat-syarat perjanjian tersebut.

b. Menurut bank, barang yang ditanggungkan sudah tidak cukup lagi dan tanggungan ini tidak ditambah baik karena musnah atau hilang ataupun harganya mundur.

c. Jika nasabah bank adalah suatu perusahaan maka jika perusahaan tersebut sudah dihentikan atau menurut bank tidak akan memberikan pelunasan atau karena sebab-sebab lain sehingga tidak diusahakan lagi oleh yang berhutang sendiri.

Menurut Hasanuddin Rahman, kredit dibagi atas beberapa golongan:

1. Kredit dilihat dari tujuannya terdiri dari:

a. Kredit Konsumtif yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperoleh atau membeli barang-barang dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi, keperluan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup.

b. Kredit Produktif yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi.

2. Kredit dilihat dari sudut jangka waktu terdiri dari:

a. Kredit jangka penek yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 ( satu) tahun.

b. Kredit jangka menengah yaitu kredit yang berjangka waktu 1 (satu) s/d 3 (tiga) tahun.

c. Kredit jangka panjang yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun

3. Kredit dilihat dari sudut jaminannya yaitu:

a. Kredit tanpa jaminan yaitu atau yang seiring disebut dengan istilah blangko

Diberikan kepada nasabah tanpa adanya jaminan, Pemberian kredit ini tidak berarti tidak ada jaminan sama sekali, melainkan jaminan yang berbentuk bonafiditas dan prospek usaha debitur tetap diperhatikan dan ditekankan dengan sungguh-sunguh dalam pertimbangan kreditnya.

c. Kredit dengan jaminan yaitu pemberian kredit dengan jaminan dari debitur, yang

berupa harta benda atau surat berharga atau jaminan perorangan.

Berdasarkan penggolongan kredit tersebut di atas, Kredit Pemilihan Rumah

(KPR) termasuk dalam kredit konsutif, karena kredit diberikan kepada debitur pada lazimnya dipergunakan untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal/dihuni.

Dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ada 3 (tiga) pihak yang terkait yaitu:

a. Pihak debitur (konsumen) yaitu pihak pembeli rumah yang dibangun oleh developer dengan uang yang dipinjam dari bank.

b. Pihak kreditur yaitu pihak bank sebagai bank penyandang dana yang menberikan bantuan fasilitas kredit dalam bentuk uang yang dipergunakan oleh debitur untuk membayar rumah yang dibeli dari developer.

c. Developer yaitu pengembang dan pembangun proyek-proyek perumahan yaitu rumah-rumah yang dijual kepada pembeli baik secara tunai maupu kredit.

Untuk menjamin pembayaran kredit sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit,

debitur menyetujui memberikan rumah dan tanah yang dibeli dengan kredit bank tersebut. Dalam Pasal 4 Perjanjian Kredit Pemilikan yang dibuat oleh Bank Tabungan Negara, disebutkan apabila jaminan berupa rumah dan tanah tersebut dianggap kurang, maka debitur menambah benda-benda tertentu lainnya yang ditetapkan bank untuk dijadikan jaminan tambahan.

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan untuk pengadaan perumahan menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk menjamin Jenis-jenis Kredit Tertentu yaitu:

a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah ini, Rumah Sederhana atau

Rumah Susun dengan luas tanah 200 m (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan

tidak lebih dari 70 m (tujuh puluh meter persegi).

b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan kapling siap bangun (KSB) dengan luas tanah

54 m (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m (tujuh puluh dua meter

persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya.

c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud

huruf a dan b.

Hak Tanggungan awal mulanya berasal dari hak hipotheek yang merupakan komponen hukum dan bagian dari hukum benda yang secara substansial diatur dalam Buku II KUHPerdata. Untuk selanjutnya Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 tahun 1994 tentang Hak Tanggungan (UUHT).

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan terdiri dari beberapa unsur pokok yaitu:

a. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.

b. Obyek hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA.

c. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya saja, tetapi dapat juga dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah.

d. Utang yang dijaminkan suatu utang tertentu.

e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.

Selama prestasi dalam perjanjian kredit yang dijaminkan dengan Hak

Tanggungan dipenuhi dengan baik oleh debitur, maka hak tanggungan sebagai hak jaminan tidak kelihatan fungsinya. Hak Tanggungan baru berfungsi apabila debitur cedera janji.

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUHT ditentukan bahwa yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah dari:

a. Hak milik.

b. Hak Guna Usaha.

c. Hak Guna Bangunan.

d. Hak Pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan.

Sebelum diundangkan UUHT, dalam praktek perbankan, surat kuasa memasang

Hipotik (SKMH) jarang sekali, atau hampir tidak pernah dilakukan pemasangan hipotik secara nyata. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kreditur tidal langsung memasang hipotik antar lain:

a. Proses pemasangan hipotik relatif lama.

b. Bank cukup lama mengenal bonafiditas dan karakter debitur.

c. Biaya pembebanan hipotik dirasakan sangat mahal oleh debitur, oleh karena itu debitur merasa berkeberatan apabila bank (kreditur) mengharuskan agar dilakukan langsung pemasangan hipotik atas jaminan yang diserahkan oleh debitur.

Dalam hal pembeli Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau

PPAT, Pasal 115 UUHT memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan SKMHT yang berbentuk otentik dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain membebankan Hak Tanggungan.

b. Tidak memuat kuasa substitusi yaitu penggantian penerima kuasa melalui pengalihan sehingan ada penerima kuasa baru.

c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditur dan debitur.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT, SKMHT dibatasi masa

berlakunya:

a. Untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar SKMHT wajib segera diikuti denan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

b. Untuk tanah-tanah yang belum terdaftar kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan SKMHT diberikan.

Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT menentukan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat

(3) dan (4) tersebut tidak berlaku bagi SKMHT untuk jenis kredit tertentu, yaitu KUK, KUT, KPR. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 4 tahun 1994 tentang Penetapan Batas Waktu penggunaan SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit tertentu, jangka waktu berlakunya SKMHT ” sampai saat berakhirnya perjanjian pokok yang bersangkutan ”.

C. Upaya-upaya yang dilakukan pihak bank sebagai pemberi kredit dalam hal debitur penerima kredit tidk dapat memenuhi kewajiban (wanprestasi), dan bank [emberi kredit hanya sebagai pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

Hak atas tanah yang dijaminkan dalam perjanjian KPR, masih digabung belum ada pemecahan secara individual, sedangkan proses pemecahan tersebut memerlukan waktu yang lama, karena melihat kenyataan bahwa sumber daya manusia (SDM) di BPN yang bertugas dalam pembuatan sertifikat sedikit, dibanding pekerjaan pensertifikatan hak atas tanah. Oleh ebsb itu SKMHt dalam perjanjian KPR, tidak dapat dipasang Akta pemberian Hak Tanggungan karena pemecahan hak atas tanah belum dilakukan.

Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Ketentuan ini dimaksud agar supaya pemberian Hak Tanggungan benar-benar dilaksanakan sehingga memberikan kepastian hukum baik bagi pemegang maupun pemberi Hak Tanggungan. Dalam Pasal 15 ayat (1c) UUHT, harus dicantumkan secara jelas dalam SKMHT yaitu obyek Hak Tanggungan sebagai bentuk perlindungan dan demi kepastian hukum baik untuk penerima maupun pemberi kuasa, mengingat bahwa kuasa tersebut hanya dibuat dalam keadaan yang sangat khusus, dan dengan persyaratan yang ketat, serta jangka waktu berlakunya dibatasi.

Suah diketahui bersama bahwa perjanjian kredit Pemilikan Rumah (KPR) diberikan kepada debitur untuk membeli rumah yang dibangun developer, dengan fasiltas yang diberikan oleh bank. Bank dalam memberikan kreditnya harus mempunyai keyakinan atas pelunasan kredit yang telah dilepas tersebut, dengan jaminan yang berupa rumah dan tanah yang dibeli dari developer tersebut.

Dalam perjanjian KPR, debitur hanya membuat SKMHT, dengan alasan hak atas tanah yang dijaminkan itu, kepemilikannya belum atas nama pemberi Hak Tanggungan, karena sertifikat hak atas tanah belum dilakukan pemecahan secara individual (digabung). Jangka waktunya berlakunya SKMHT yang digunakan untuk menjamin perjanjian KPR menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996 “ berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok”. Jadi sepanjang perjanjian KPR berlangsung, SKMHT tersebu masih berlaku, tanpa dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Tujuan dari pemberian kuasa untuk membebanlkan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah mengingat langkah pemasangan jaminan denan Hak Tanggungan tidak mudah, harus melalui, harus melalui formalitas tertentu, memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, dan hak atas tanah belum menjadi hak milik dari pemberi jaminan maka adakalanya untuk kredit yang diberikan kreditur merasa sudah cukup terkamin apabila telah mendapat kuasa dari debitur untuk memasang jaminan.

Mengacu pada ketentuan Surat Keputusan Bank Indonesia No. 30/267/KEP.DIR/1998 tentang Penggolongan Kualitas Kredit adalah sebagai berikut:

1. Lancar yaitu apabila memenuhi kriteria:

a. Pembayaran angsuran pokok dan bunga tepat.

b. Melmilki mutasi rekening yang aktif.

2. Dalam perhatian khusus yaitu dalam hal:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang belum melampaui 90

(sembilan puluh) hari atau,

b. Mutasi rekening relatif rendah, atau

c. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan,

d. Didukung oleh pinjaman baru.

3.Kurang lancar apabila memenuhi kriteria:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah melampaui 90

(sembilan puluh ) hari atau,

b. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah atau,

c. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang telah diperjanjikan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari atau,

d. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur atau,

e. Dokumentasi pinjaman yang lemah.

4.Diragukan yaitu apabila memenuhi kriteria:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari atau,

b. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari atau,

c. Terjadi kapitalisasi bunga

d. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan.

5.Kredit macet apabila memenuhi kriteria:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah melampaui 270 dua ratus tujuh puluh) hari atau,

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru atau,

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

Pasal 11 perjanjian KPR Yang dibuat oleh pihak bank (BTN) , menetukan

bahwa debitur dinyatakan cidera janji (wanprestasi), dalam hal:

a. Debitur tidak membayar angsuran bulanannya atau jumlah angsuran bulanan

Dibayar kurang dari jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian ini dan atau tidak melunasi kewajiban angsuran menurut tanggal yang ditetapkan.

b. Debitur melakukan penunggakan-penunggakan atas kewajiban angsuran bulanan

sebagaimana ditentukan dalam perjanjian ini selama dua kali berturut-turut sehingga telah ada peringatan terakhir dari bank.

c. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajibannya sebagaimana ditentukan di-

tentukan dalam perjanjian ini.

d. Debitur melanggar ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini.

e. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajiban-kewjibannya atau melanggar

ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur bank Indonesia No. 26/22. KEP./DIR tanggal 29 Mei 1993 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) NO. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 mengenai beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh bank yaitu antara lain:

a. Penjadwalan kembali (Rescheduling) yaitu perubahan syarat kredit yang hanya

menyangkut jadwal atau jangka waktunya. Bank memberikan kelonggaran

kepada debitur untuk membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dengan jalan

menunda tanggal jatuh tempo tersebut. Bank akan menanyakan berapa lama

debitur akan dapat melunasi kreditnya.

b. Persyaratan kembali (Reconditioning)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan persyaratan lainnya sepanjang tidak menganai jumlah maksimal saldo kreditnya. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat posisi tawar-menawar antara bank dengan debitur yang salah satu upayanya adalah mengubah syarat pengadaan jaminan kredit. Jika bank merasa nilai jaminan yang disedikan kurang, maka bank wajib meminta debitur untuk menambah jaminan yang jenis dan nilainya dapat diterima bank.

c. Penataan kembali (Restructuring).

Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut,

1. Menambah dana bank atau,

2. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi kredit baru.

3. Konversi seluruh atau sebagian dari kredit yang menjadi penyertaan modal perusahaan.

Pasal 12 Perjanjian KPR yang dibuat pihak bank (BTN) mengatr tentang

“Pelaksanaan eksekusi barang jaminan”, bahwa:

a. Apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pelunasan tersebut

walaupun telah mendapat peringatan-peringatan dari bank, maka bank berhak

melaksanakan eksekusi atas jaminan yang dipegangnya, menurut cara dan dengan

harga yang dianggap baik oleh bank dalam batas-batas yang diberikan oleh undang-

undang serta peraturan hukum lainnya.

b. Hasil eksekusi dan atau penjualan barang jaminan tersebut, digunakan untuk

melunasi sisa hutang debitur kepada bank, termasuk semau biaya yang telah

dikeluarkan bank guna melaksanakan eksekusi barang jaminan.

c.Bila hasil penjualan atau eksekusi barang jaminan kredit jumlahnya belum

mencukupi untuk melunasi seluruh hutang debitur kepada bank, bank berhak

mengambil pelunasan atas sisa hutang tersebut dari penjualan barang-barang lain

milik debitur yang ditunjuk oleh debitur sebagai jaminan atas kredit ini.

Upaya-upaya hukum lain yang dilakukan pihak bank, diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1) perjanjian KPR BTN, bahwa “ pihak bank berhak dan dapat untuk seketika menagih pelunasan sekaligus atas seluruh sisa hutang kepada debitur kepada bank, dan debitur wajib membayarnya seketika dan sekaligus lunas dalam hal:

a. Debitur cindera jani sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perjanjian KPR BTN ini.

b. Debitur tidak mungkin lagi memenuhi kewajibannya, antara lain karena meninggal

dunia, diberhentikan dari instansi yang bersangkutan, dijatuhi hukuman pidana, atau

cacat badan.

c. Harta –harta debitur yang diberikan sebagai jaminan kredit telah musnah.

Apabila setelah mendapat peringatan dari bank, debitur tidak juga dapat melunasi seluruh sisa kewajibannya kepada bank, maka bank berhak memerintahkan debitur unuk mengosongkan rumah berikut tanahnya yang telah dijaminkan oleh debitur kepada bank, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari mulai tanggal peringatan bank (Pasal 11 ayat (2) perjanjian KPR BTN).

Bila debitur ternyata tidak mengosongkan rumah dalam jangka waktu tersebut, bank berhak meminta bantuan pihak yang berwenang guna mengeluarkan debitur dan mengosongkan rumah tersebut.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Upaya-upaya yang dilakukan pihak bank sebagai pemberi kredit dalam hak debitur penerima kredit tidak dapat memenuhi kewajiban (wanprestasi), dan bank pemberi kredit hanya sebagai pemegang SKMHT, sebagai berikut:

1.Pihak bank sebagai pemberi kedit akan melakukan musyawarah dengan

debitur penerima kredit mengenai rescheduling, reconditioning, dan atau

restructuring.

2. Pihak bank sebagai pemberi kredit akan menagih debitur penerima kredit

untuk melunasi seluruh hutangnya.

3. Pihak bank sebagai pemberi kredit menyuruh debitur penerima kredit untuk

mengosongkan rumah dan tanah dalam waktu yang telah ditentukan.

4. Pihak bank pemberi kredit akan mengalihkan piutang dan hak jaminan

kreditnya kepada pihak lain (alih debitur).

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang merugikan para pihak, sebaiknya SKMHT dalam Perjanjian KPR wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

CATATAN AKHIR

Telah dipresentasikan dalam seminar terbatas di Bagian Perdata Fakultas Hukum UGM tanggal 2 September 2004

S.H.,M.Hum., Staf Pengajar Fakultas Hukum UNSRI Palembang.

Maria S.W. Sumardjono, Pemahaman Awal Prinsip-Prinsip UUHT, Seminar menyongsong berlakunya UUHT atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, F.H.UGM., Yogyakarta, 11996, hlm.9.

Mgs.Edy Putra The Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1985. hlm.1.

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Alumni, Bandung, 1983, hlm.31.

Ibid, hlm. 28.

Ibid, hlm.22.

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 109.

Sutan Remi Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 117.

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit, Alumni, Bandung.

Rahman, Hassanudin, 1995, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di

Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sjahdeini, Sutan Remi, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok

Dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung.

Satrio, J., 1997, Hukum Jaminan,, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

--—, 2002, Hukum Jaminan,, Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

The Aman, Edy Putra, Mgs., 1985, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty,

Yogyakarta.

Peraturan Perundang – Undangan:

R.I. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

R.I. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT)

R.I. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992

Tidak ada komentar: