Selasa, 03 Maret 2009

Tujuan Mulia Hukum Agraria

Tujuan Mulia Hukum Agraria
 

Nasib petani saat ini nampaknya tidak beda jauh dengan nasib petani jaman kolonial Belanda. Dulu, tanah-tanah petani dikuasai orang-orang Belanda, sekarang tanah-tanah mereka juga masih tidak dikuasai sendiri. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tanah hampir semuanya mempunyai tujuan mulia, memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil. Namun dalam praktik, kepentingan yang berkuasa selalu yang menang, dan wong cilik terpinggirkan, seperti Saijah, juga seperti Karmidi.

”Sebab kita bersuka cita bukan karena memotong padi, kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanamî. Demikian sebait pidato Max Havelaar di depan Bupati Lebak dan kepala-kepala distriknya yang korup, mengawali hari-hari pertamanya sebagai asisten Residen di Lebak tahun 1856. Waktu itu jaman Kultur Stelsel (Tanam Paksa) yang sudah dimulai sejak 1830 dan Havelaar hadir sebagai sosok Belanda yang berani dan jujur menentang penindasan.

Kultur Stelsel produk kolonial Belanda memang kejam, tapi di mata Havelaar, Bupati Lebak dan kepala-kepala distriknya yang ”Saudara muda” Belanda itu lebih kejam. Karena mereka, kerbau Saijah dirampas dan karena mereka ayah Adinda bersama penduduk Parangkujang lainnya lari ke hutan karena takut tidak bisa membayar pajak.

Dan ketika mereka mengadu kepada Havelaar, keesokannya ditarik kembali pengaduannya itu karena intimidasi. Buat yang membangkang, dera rotan dan hukuman penjara siap menanti. Semua itu kesaksian Multatuli (Douwes Dekker) dalam bukunya Max Havelaar yang mengisahkan hari-hari Multatuli sebagai Asisten Residen di Lebak.

Seperti Saijah, pun Karmidi memiliki nasib yang sama. Warga Tegalbuleud, Sukabumi selatan ini harus kehilangan empat hektar tanahnya yang diperuntukan bagi perkebunan inti rakyat. Namun ia tidak disertakan di dalamnya sebagai petani inti plasma karena namanya tergeser oleh orang-orang yang dekat dengan aparat desa. Kini, ia berusaha memperoleh keadilan dengan mengadu ke DPRD.

Juga seperti petani-petani lainnya yang kini marak melakukan gerakan reclaiming (klaim balik), mereka menuntut balik tanah-tanah mereka yang pada masa orde baru dulu dikuasai pengusaha-pengusaha perkebunan besar. Penguasaan dilakukan dengan ganti rugi yang tidak sepadan, itupun setelah lebih dulu diintimidasi. Gerakan reclaiming tidak bisa lepas dari sejarah peraturan-peraturan agraria yang panjang, bahkan jauh sebelumnya, pada masa kolonial Belanda.

”Ya, aku bakal dibaca”, demikian kata Havelaar dalam bukunya. Akhirnya, tersiar juga kekejaman dan penindasan Kultur Stelsel ke seluruh dunia. Di Eropa, muncul golongan yang menentang kekejaman Kultur Stelsel. Ada lagi golongan yang ingin tetap mempertahankannya dengan alasan Kultur Stelsel telah mampu menyelamatkan krisis keuangan negara Belanda akibat perang dengan Belgia di Eropa dan perang Diponegoro di Jawa.
Ada juga golongan penentang Kultur Stelsel, namun tujuannya bisnis. Mereka ini adalah pengusaha-pengusaha besar Belanda yang kelebihan modal karena sukses usahanya. Mereka menuntut digantinya Kultur Stelsel yang monopoli negara itu dengan konsep kapitalisme liberal yang mengedepankan sistem persaingan bebas dan sistem kerja bebas. Akhirnya, dikabulkan juga tuntutan itu yaitu dengan lahirnya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) tahun 1870.

Dalam Agrarische Wet, dibuka kemungkinan bagi pengusaha untuk menggunakan tanah kepunyaan rakyat atas dasar sewa disampingnya juga hak erfpacht. Kemungkinan ini disediakan bagi perusahaan-perusahaan kebun besar tanah datar, terutama perusahaan gula dan tembakau. Dalam pelaksanaannya, Agrarische Wet mensyaratkan perlindungan bagi rakyat pribumi.

Harus diupayakan agar pemberian tanah kepada pengusaha tidak melanggar hak-hak rakyat pribumi. Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Agrarische Wet dibuat bukan untuk tujuan kesejahteraan rakyat tapi bagi kepentingan bisnis. Dalam praktek, kepentingan pengusaha dalam banyak hal lebih didahulukan dari kepentingan rakyat pribumi.

Di mana Saijah akan tetap menjadi Saijah yang tertindas, bahkan sampai bertahun-tahun ke depan.


Konsepsi Komunis

Tahun 1960 merupakan tahun keemasan bagi hukum agraria nasional, karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1960 yang disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA yang memakan waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah pertanahan nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga dikeluarkan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September merupakan hari lahir UUPA sebagai hari Tani.

UUPA lahir dengan latar belakang yang sederhana, supaya kesejahteraan rakyat kecil juga diperhatikan. Hal ini sesuai dengan program landreform saat itu yang dikampanyekan dalam rangka revolusi nasional Indonesia. Dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 dinyatakan, ìMelaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”.

Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah.
Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi.


Gerakan Reclaiming

Jatuhnya Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan landreform. Di bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan. Bahkan Presiden Soeharto sendiri menyatakan, ìPelaksanaan landreform harus berjalan terus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya diselesaikan pelaksanannya secepatnya”.

Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini hanya sebatas pintu gerbang. Dalam praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai dengan arah politik pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari praktek-praktek pelepasan hak atas tanah dari rakyat petani kecil.

Kini, ketika angin reformasi berhembus, ketika Orde Baru tumbang, kaum petani kembali ambil suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang dulu diambil dalam gerakan reclaiming. Tidak jarang reclaiming tersebut dibarengi dengan ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.

Di Tegalbuleud, Sukabumi, petani-petani yang melakukan klaim balik atas tanah-tanah meraka berhasil membabat perkebunan kelapa seluas 10 hektar pada malam hari. Demikian juga di Sumatra Utara, warga desa yang tergabung dalam organisasi Tani Mandiri (OTM) harus menghadapi todongan senjata aparat ketika melakukan klaim balik tanah perkebunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV yang menguasai tanah ulayat seluas 7.000 hektar.

Ketika klaim balik, pengusaha berdalih, secara de jure tanah itu milik mereka karena telah diurus surat-suratnya dan telah dilakukan ganti rugi. Namun jangan lupa, secara de facto, tanah-tanah itu telah digarap turun-temurun oleh petani. Soal peralihan hak jadi tidak adil juga jika direkayasa dan diintimidasi.

Belakangan, soal revisi UUPA kembali mencuat. Tujuan mulia yang melatarbelakanginya kembali dihambuskan dengan tema kesejahteraan rakyat kecil. Mungkin, persoalan merevisi UUPA bukan perkara yang terlalu sulit, sama dengan mudahnya Sangkuriang membuat seribu candi dalam semalam.

Yang sulit justru pelaksanaannya yang harus konsekwen dengan tujuan mulianya. Jangan hanya janji dan kata-kata manis, sebab rakyat kecil lebih mengerti arti keadilan.


Tidak ada komentar: