Selasa, 03 Maret 2009

Rangkaian Permasalahan Pendaftaran Tanah Pertanian

Rangkaian Permasalahan Pendaftaran Tanah Pertanian
Kategori: Penelitian

DR. Jur. Any Andjarwati
(Direktur Pusat Kajian Hukum dan Pertanian FH UGM)


Dalam tataran filosophis pemikiran (terlepas dari praktek pelaksanaannya) sistim pendaftaran tanah di Indonesia terjadi kemunduran, dari sistem "publikasi positif" ke sistem negatif, yang menutup atau mempersulit jalan pemecahan permasalahan tiadanya jaminan kepastian hukum pertanahan. Kesalahan terbesar terletak pada sistemnya sendiri yang tidak konstruktif. Suatu ironi kebijakan antara pengharapan sekaligus penghalangan pencapaian tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri. 

Tap MPR no. IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memberi arahan kebijakan untuk mengadakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan Landreform di Indonesia, serta berprinsip pada keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dan pada keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat provinsi, kabupaten/ kota, desa), masyarakat dan individu. 

Sehubungan dengan itu perlu kiranya sekilas menengok kebelakang tentang sistim pendaftaran tanah di Indonesia. Overschrijvingsordonnantie (Peraturan Balik Nama) tanggal 2 April 1834 (Stbl. 1834 No. 27) adalah aturan pertama kali mengenai pendaftaran tanah yang menganut sistem positif, yang pasal 1-nya menyatakan "pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti dan peralihan mengenai semua benda tetap serta semua akta dengan mana benda tetap itu dibebani hipotik berikut semua akta cessienya hanyalah sah apabila dibuat dimuka Pejabat Balik Nama" (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Dengan demikian karena pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti, maka logikanya negara bertanggung jawab atas data yang disajikan, dan hal ini dapat menjamin kepastian hukum. 

Sedangkan sistim UUPA menganut sistem publikasi negatif (pasal 19 UUPA dan aturan pelaksanaannya PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah dicabut oleh PP 24/1997), yang pada dasarnya sertifikat hanya sebagai salah satu tanda bukti hak atas tanah, sebagai tanda bukti yang kuat, tapi tidak mutlak. Hal ini dapat berimplikasi negara tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap data yang disajikan, konsekwensinya sertifikat tidak menjamin kepastian hukum. Alasan pemberlakuan sistem negatif (tidak murni) oleh karena "pelaksanaan sistim positif membutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya, sedangkan dengan sistim negatif penyelenggaraan dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih singkat". (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Sebagai solusi jalan pintas ?.

Namun apakah waktu, pikiran, tenaga, dan biaya untuk penataan dan pemulihan "luka" yang ditimbulkan tidak lebih menguras dan boros ? Yang jelas jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara (pasal 19 UUPA), dan hak menuntut rakyat akan adanya jaminan kepastian data dan informasi yang disajikan berkaitan dengan pendaftaran tanah. Jaminan kepastian hukum tidak dapat diartikan setengah-setengah, tetapi sepenuhnya.


Pertanian dan Tanah Subur yang Ekonomis

"Pertanian adalah penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk menghasilkan produksi tanaman (produksi primer, anatara lain bahan pangan, pakan, bahan mentah teknis) dan produksi hewan /produksi sekunder (Kroeschel, 1983)"

Karakter tanah pertanian berbeda dengan tanah untuk perumahan maupun bangunan. Tanah pertanian pemanfaatannya untuk pertanian, perkebunan, perikanan, tempat penggembalaan ternak (tanah angonan), tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat pencaharian bagi yang berhak. Lebih lanjut tanah pertanian dibedakan menjadi tanah sawah dan tanah kering/ darat (Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal. 5.1.1961, no. Sekra. 9/1/12). Tanah sawah dibedakan menjadi tanah sawah ber-irigasi dan tanah sawah tadah hujan (A.J. van der Heyden, Landrente 1939). Tanah kering dikategorikan menjadi tanah bukan sawah (selain sawah), termasuk tambak, empang, untuk perikanan, yang pada hakekatnya tidak kering.

Terjaminnya tanah subur berkaitan dengan kestabilan perencanaan sektor-sektor dan penataan ruang, yang semaksimal mungkin mencegah adanya alih fungsi tanah pertanian untuk non-pertanian. Namun alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian ini masih merupakan masalah besar, akibat dari belum dilaksanakannya Perencanaan Umum dengan baik sebagaimana amanat UUPA yang diberikan pada pemerintah (pasal 14 UUPA). Pemenuhan kestabilan Perencanaan Umum ini adalah pokok, sebagai langkah selanjutnya setelah penyelesaian masalah tiadanya peta dasar yang satu. Pemenuhan tangung jawab dari pemerintah ini adalah mutlak untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan hidup, dan penghindaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan pidana (pasal 15 dan 52 UUPA).

Kekhususan tanah subur pertanian ini seharusnya membutuhkan peraturan khusus mengenai peralihannya yang mensyaratkan secara khusus pula, baik subyek, obyek dan sistem pengusahaannya untuk dapat menjamin keberlanjutannya. Perbuatan-perbuatan hukum peralihan tersebut dapat berupa waris usaha tanah pertanian, jual-beli, sewa tanah pertanian,dll. 

Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur dapat menyangkut masalah luas minimal tanah pertanian dan sistem pengusahaannya. Asas penguasaan tanah pertanian dengan luas minimum 2 (dua) hektar, yang diatur dalam UULR bertujuan untuk supaya petani dan keluarganya dapat mencapai taraf penghidupan yang layak dan mencegah supaya tidak terjadi fragmentasi tanah pertanian (pemecahan) lebih lanjut. Namun aturan dalam pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Land Reform/UULR menyatakan "Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar...". Disamping itu jumlah petani gurem, yang menguasai tanah pertanian dibawah 0, 5 hektar semakin meningkat. Keadaan ini tidak kondusif.

Oleh karena itu, mutlak adanya langkah kebijakan pertanian yang konstruktif, misal: petani adalah pelaku utama usaha pertanian yang mempengaruhi perdagangan, oleh karena itu diperlukan syarat-syarat khusus baik untuk kewajiban maupun hak-haknya. Berkaitan dengan itu Pemerintah perlu mulai membedakan mana kebijakan pertanian dan mana kebijakan jaminan kesejahteraan (era spesialisasi). Seharusnya petani golongan miskin tidak masuk dalam lingkup konsep kebijakan pertanian, tetapi masuk dalam kebijakan jaminan kesejahteraan sosial (Departemen Sosial). Andai saja pemerintah konsisten melaksanakan Konstitusi dan pelaksanaannya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional, maka seharusnya istilah "golongan miskin" merupakan kata tabu dalam kebijakan pemerintah. Di dalam negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, tugas itu bukan merupakan suatu pilihan, akan dilaksanakan atau tidak, tetapi suatu keharusan.

Pemecahan masalah luas tanah pertanian sempit untuk dapat mencapai batas minimum atau lebih sebagai syarat usaha pertanian ekonomis yang berkelanjtan, dapat ditempuh beberapa alternatif pemecahannya seperti berikut :
1) Memberi pensiun terhadap petani yang sudah tua;
2) Memberi kompensasi bagi petani muda yang tidak tertarik lagi bekerja di bidang pertanian;
3) Membentuk "Pertanian Bersama", melalui penggabungan tanah pertanian dalam satu usaha pertanian dengan sistem manajemen modern, dengan jumlah tenaga kerja dan teknologi yang efektif dan efisien, sementara pemilik lainnya mendapatkan kompensasi berdasarkan perjanjian. 

Konsekwensi dari pemerintah yang mencita-citakan usaha pertanian yang berkelanjutan yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung terciptanya Petani yang profesional dan sejahtera sesuai dengan perkembangan zaman, mengikuti perkembangan teknologi, komunikasi, transportasi, globalisasi ekonomi, dll.. 


Pendaftaran Tanah Pertanian dan Struktur Pertanian

Kebijakan Pendaftaran pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pertanian serta pengusahaannya, secara komprehensif, mutlak diperlukan untuk adanya usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan. Untuk itu data dan informasi mengenai lalu-lintas tanah pertanian, perbuatan-perbuatan hukum untuk peralihannya serta hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya diperlukan secara terus-menerus. 

Hal tersebut merunut pada program Land Reform, yang intinya menuntut perombakan "pemilikan dan/ atau penguasaan tanah pertanian" dan "hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya", yang kedua variabel tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk usaha pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian pemilikan tanah pertanian dan benda-benda yang ada di atasnya (untuk pengusahaannya) merupakan suatu kesatuan, bagian yang tak terpisahkan (menganut azas vertikal). Oleh karena itu kebijakan tanah pertanian mau tidak mau menuntut secara serentak-sekaligus melingkupi juga kebijakan-kebijakan seluruh faktor-faktor dalam struktur pertanian (Agrastruktur), baik faktor teknik (tanah sebagai sub-faktor), faktor ekonomi maupun faktor sosial, yang bekerjanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan untuk mencapai tujuan.

Faktor teknik mencakup: kepastian hak-hak atas tanah, luas minimal dan maksimal tanah pertanian yang berkeadilan, hukum tanah dan turunannya: rencana sektor-sektor, penggunaan tanah, penataan ruang dan zonasi, perairan, peraturan-perundangan pertanian (hukum pupuk, hukum bibit, hukum kredit pertanian (yang tidak mengenal sita jaminan), hukum waris usaha pertanian, hukum perjanjian dalam pertanian, hukum koperasi pertanian, hukum ketenagakerjaan dalam pertanian, hukum anti monopoli bidang usaha pertanian, dan sebagainya). Selain itu juga organisasi administrasi agraria dan aparat pemerintah, serta organisasi non-pemerintah, kemudian faktor ekonomi yang mencakup perhitungan ekonomi pertanian (pengeluaran, pajak, ongkos-ongkos resiko, dan sebagainya), sistem perdagangan dari masing-masing produk pertanian (dalam negeri, regional maupun internasional). Kemudian faktor sosial yang berkaitan dengan sistem jaminan kesejahteraan petani, seperti jaminan pendapatan petani, jaminan kesehatan petani, jaminan hari-tua petani, jaminan kecelakaan-kerja, jaminan pemeliharaan, dan sebagainya.

Dengan demikian kebijakan bagi-bagi tanah pada dasarnya hanya bagian "kecil" (tapi sangat penting dan mendasar), yang akan tidak banyak artinya jika tanpa kebijakan melekat dengan seluruh kebijakan pertanian yang seharusnya. Berdasarkan hal itu faktor-faktor dalam struktur pertanian tersebut dapat merupakan bahan dasar penelusuran untuk pengumpulan data fisik dan data yuridis yang diperlukan dalam pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan.

Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian belum dipikirkan dalam PP 24/1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif). Obyek pendaftaran tanah yang wajib didaftarkan yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangungan, Hak Pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, tanah Negara, dan tidak menyinggung tanah pertanian yang sifatnya sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan Hak Sewa tanah pertanian. Sementara hak-hak "sementara" ini masih berperan penting dalam kehidupan rakyat tani, yang masih banyak perjanjian diadakan dalam bentuk tidak tertulis berdasarkan kepercayaan. Padahal data dan informasi tersebut seharusnya sangat penting sebagai dasar untuk pengambilan strategi kebijakan pertanian dan kebijakan lainnya, misal kebijakan lapangan kerja, untuk kesejahteraan rakyat. 

Hak Gadai tanah pertanian merupakan obyek pendaftaran tanah menurut PP 10 tahun 1961, namun tidak lagi menurut PP 24/1997. Tiadanya sistem khusus pendaftaran tanah pertanian ini, menjadikan kebijakan Land Reform sebagai sesuatu yang "kosong", tidak konsisten, tidak rasional, jauh dari konstruktif. Bagaimana dapat mengontrol berlakunya asas-asas UUPA yang harus dihormati, seperti asas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif, asas larangan pemerasan terhadap pihak yang lemah, dan sebagainya, jika data dan informasi subyek dan obyeknya saja tidak jelas. Seperti pada sistem gadai tanah pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan, karena pemegang gadai tanah pertanian dianggap sudah cukup menikmati manfaat dari tanah gadai, jauh melebihi bunga yang layak dari uang yang diterima oleh yang empunya tanah (pasal 7 UU No. 56 /Perpu/ 1960, dikenal dengan Undang Undang Land Reform/UULR); Apakah ditaati aturan mengenai perjanjian bagi hasil, yang dilaksanakan secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu, tempat letak tanah yang bersangkutan (Kepala Desa) dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak penggarap dan pemilik tanah, kemudian perjanjian tersebut disyahkan oleh camat/ kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu. Kepala desa mempunyai kewajiban mengumumkan dalam kerapatan desa mengenai semua perjanjian usaha bagi hasil setelah kerapatan terakhir.

Perjanjian usaha bagi hasil diwajibkan dalam bentuk tertulis, yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak tersebut, bertujuan untuk supaya tidak timbul adanya keragu-raguan dan/ atau konflik dikemudian hari. Sedangkan pelaksanaan perjanjian dihadapan kepala desa dan disyahkan oleh Camat bertujuan untuk pengawasan preventif. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok. Penggarap dalam perjanjian bagi hasil yaitu petani perseorangan dengan tanah garapan maksimal 3 hektar, kecuali dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, atau Badan Hukum dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mis. Koperasi Tani untuk tanah terlantar, Perseroan Terbatas atau Yayasan untuk membuka tanah yang sangat luas dengan dasar untuk kepentingan desa atau kepentingan umum (UU 2/ 1960, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria no. 4/ 1964 yang mengatur tentang perimbangan pembagian hasil); Sementara hak sewa tanah pertanian belum diatur secara khusus. Disamping itu sistem yang ada menjadikan Desa dapat tidak mengetahui adanya transaksi tanah didesanya.

Pendaftaran usaha (tanah) pertanian juga menghadapi masalah orientasi kebijakan yang tidak jelas, yang membedakan penguasaan tanah diatas hak privat dengan diatas tanah negara. Untuk penguasaan tanah pertanian dengan hak privat luas minimal 2 (dua) hektar dan luas maksimal 20 hektar (UULR), sedangkan penguasaan tanah pertanian diatas tanah negara dengan HGU 5 - 25 hektar (pasal 5 ayat 1 dan 2 PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah), sedangkan untuk badan hukum penguasaan luas maksimum tanah pertanian tidak ada batasnya. Lebih jauh lagi dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan peluang penguasaan tanah pertanian untuk jangka waktu yang fantastis (UU ini sekarang sedang menjadi pekerjaan rumah Mahkamah Konstitusi), dan tidak boleh dilupakan juga bahwa HGU dapat diwariskan. Politik hukum penguasaan (usaha) tanah pertanian yang diskriminatif dan tidak berdasar ini sangat tidak berorientasi jika dikaitkan dengan tujuan UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional untuk menjamin kesejaheraan rakyat, terutama rakyat tani. Lebih dalam lagi keadaan itu tidak kondusif jika dikaitkan dengan asas-asas hukum keadilan, kelayakan dan/ atau kepatutan serta kepastian hukum.


Lembaga Waris Tanah Pertanian dan Waris Adat

Lembaga waris usaha tanah pertanian yaitu sistem peralihan usaha tanah pertanian yang ekonomis dan berkelanjutan, dari pewaris ke ahli waris yang memenuhi syarat.


Tujuan pengadaan lembaga waris usaha tanah pertanian seperti ini sebagai pengakuan profesionalitas petani yaitu untuk jaminan kesejahteraan petani (dan keluarganya) dan serta jaminan produk pertanian, baik kualitas maupun kuantitas, yang merupakan pendukung utama atau syarat adanya usaha tanah pertanian yang berkelanjutan. Petani yang sudah tua atau sakit-sakitan tidak dapat mengerjakan lagi tanah usaha pertaniannya, sehingga perlu dipikirkan keberlanjutan usaha tanah pertaniannya. Ahli waris dapat dari keturunan petani atau orang lain yang dipercaya oleh pewaris (melalui testamen dan/ orang yang dalam jangka waktu lama ikut bekerja mengusahakan tanah pertanian yang bersangkutan selama pewaris masih hidup).

Sekarang ini banyak tanah pertanian yang dikerjakan oleh petani-petani tua (gerontonisasi), karena para anak muda tidak tertarik (lagi) bekerja di bidang pertanian, yang condong tidak menguntungkan dan penuh resiko. Situasi seperti ini dan memperhatikan sistem hukum UUPA, perlu adanya pembentukan sistem waris usaha tanah pertanian Indonesia yang dapat melandaskan diri pada sistem kewarisan adat (sistem matrilineal, patrilineal atau parental/ bilateral) dikaitkan dengan sistem kemasyarakatan (sistem mayorat atau minorat laki-laki atau perempuan). Disisi lain perlu juga adanya hukum waris usaha tanah pertanian yang berlaku nasional, sebagai kerangka hukum waris usaha pertanian Nasional, yang berlaku bagi daerah yang nantinya tidak mempunyai atau tidak dapat mengadakan hukum waris adat usaha tanah pertanian. 
Hanya saja untuk merealisasikan pemikiran pengadaan hukum tersebut masih banyak menghadapi kendala, karena dalam sistem hukum Nasional saja belum ada univikasi hukum waris Indonesia (masih dalam cita-cita), apa lagi hukum waris khusus usaha tanah pertanian. Hukum waris yang berlaku yaitu hukum waris adat, hukum waris yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan hukum waris berdasarkan hukum islam. Keadaan ini merupakan masalah tersendiri dalam Hukum Keluarga dan dapat menjadi potensi konflik pewarisan. Namun demikian dalam praktek masyarakat lebih condong memakai waris adat. 

Kewarisan dalam hukum adat pada intinya berarti pemindahan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sayuti Thalib, 1983), yang menonjolkan asas kemanfaatan, yang dalam sistemnya lebih memperhatikan anggota keluarga yang paling lemah (ekonominya). Pembagian waris dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Disamping itu harta warisan merupakan suatu kesatuan, dengan demikian harta tanah usaha pertanian hanya sebagai bagian dari keseluruhan, dan diberikan kepada siapa yang paling bermanfaat. Pada umumnya tidak ada sistem khusus pewarisan tanah (pertanian) adat.

Dalam pembentukan sistem waris usaha pertanian perlu diperhatikan peraturan-perundangan maupun praktek didalam masyarakat berkenaan dengan hak-hak yang sifatnya sementara (yang berasal dari hukum adat), seperti aturan jika pemegang gadai meninggal, haknya beralih pada ahli warisnya, penggarap yang meninggal dunia dalam perjanjian bagi hasil dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama (syarat ahli waris calon penggarap pada dasarnya yaitu orang tani, tidak menguasai tanah lebih dari 3 hektar, kecuali ada izin), namun jika pemilik tanah garapan meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil dapat hapus, dll.
Aspek-aspek yang terkait dalam usaha tanah pertanian seperti terurai di atas dapat menjadi bahan penelusuran untuk pengadaan data dan informasi pembangunan pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan.  


BPN dan Peta Dasar

Tanah merupakan permukaan bumi di daratan maupun dibawah air, termasuk ruang diatas maupun dibawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang mempunyai batas-batas tertentu, baik batas alam, batas administrasi, maupun batas-batas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya, sebagai matriks utama ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem spasial kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, yang dikelola untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan, dalam harmoni sosial yang dinamis dan menjamin keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (BPN, Penilaian Tanah Dalam Politik dan Kebijakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2007).

Badan Pertanahan Nasional mendapat mandat dari Presiden untuk pelaksanaan tugas bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Peraturan Presiden no. 10 tahun 2006). Untuk melandasi tugas, tanggung-jawab dan kewenangannya tersebut BPN memberi definisi tanah seperti tersebut di atas, yang pada dasarnya suatu kewenangan pertanahan yang komprehensif (keagrariaan), yang pelaksanaan tugas dan kewenangannya, termasuk untuk menjalankan kewenangan pendaftaran tanah, tidak dapat lepas dari "kesiapan" dari perencanaan sektor-sektor lainnya, yang berhubungan dengan Land Use Planning yang berkelanjutan, serta konsistensi peraturan-perundangan yang melandasinya.

Dengan demikian tanggung-jawab dan kewenangan itu pada dasarnya merupakan bagian dari permasalahan poitik, konsep dan strategi sistem reforma agraria Indonesia. Sedangkan salah satu sumber dasar dan utama permasalahan agraria yaitu tiadanya peta dasar yang satu, yang seharusnya berfungsi sebagai salah satu modal konstruksi kebijakan yang mutlak bagi instansi-instansi pemerintah untuk dapat menjalankan organisasinya dengan baik, baik dari fase perencanaan, keuangan, pelaksanaan sampai kontrol. 

Eksisnya multi peta dasar sulit atau tidak mungkin dipecahkan jika organisasi administrasi ke-agraria-an masih seperti sekarang ini dan tanpa perubahan, karena berkaitan dengan sejarah, kekuasaan -"domain"-, kewenangan, hukum dan tanggung jawab masing-masing instansi yang mempunyainya, yang berpotensi overlapping kekuasaan dan/ atau kewenangan atas suatu tanah dan konflik pertanahan. Dengan demikian kegiatan pendaftaran tanah menghadapi permasalahan yang tidak ringan. 


Penutup

Lembaga pendaftaran usaha tanah pertanian, yang menjamin kepastian hukum, masih banyak menghadapi kendala mendasar yang harus diselesaikan terlebih dahulu, seperti konsep usaha pertanian yang berkelanjutan, peta dasar yang satu, perencanaan sektor-sektor dan tata ruang serta zonasi yang stabil, organisasi adminisrasi agraria, kebijakan carut-marut ke-agraria-an, dan seterusnya. Sementara kebijakan Land Reform belum mempunyai "roh" nya, baik untuk subyek, obyeknya maupun sistemnya. Oleh karena itu, perlu adanya langkah rasional dan konkrit dari Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan agraria yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Untuk merealisasikannya, kiranya akan sangat sulit atau tidak mungkin jika tidak ada perubahan yang revolusioner terhadap keadaan aparat-pemerintah yang terperangkap dalam kondisi dan suasana organisasi administrasi ke-agraria-an yang memaksa egocentris (egoisme sektoral, egoisme intern-sektoral, jiwa kedaerahan yang berlebihan, dll.). Kunci permasalahan pertama yang harus dipecahkan untuk pendaftaran tanah yang berkelanjutan dan menjamin kepastian hukum yaitu pengadaan peta dasar yang satu sebagai landasan hak menguasai negara oleh Pemerintah sebagai kesatuan. 


[Indonesia adalah negara agraria. Ironis, bahwa justru kaum petani banyak kehilangan sawah yang mereka tanami karena lahan pertanian tersandung permasalahan pendaftaran dan bisa diambil alih oleh pihak yang secara hukum dinyatakan lebih mempunyai 'hak'. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana rekomendasi penyelesaian pendaftaran tanah pertanian yang dapat menjamin kesejahteraan petani ?]


Tidak ada komentar: