Selasa, 03 Maret 2009

Penyederhanaan Perangkat Penguasaan Tanah

Penyederhanaan Perangkat Penguasaan Tanah
Kategori: Penelitian

Pengantar

Di kalangan masyarakat kita, pemahaman mengenai kategori status penguasaan tanah, meliputi dua kelompok utama yaitu bidang-bidang tanah yang sudah ada atau dilekati "hak" dan bidang-bidang tanah yang belum ada "hak"-nya. "Hak" dimaksud secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama yang diatur berdasar ketentuan UUPA, kedua yang diatur berdasar ketentuan peraturan perundangan sektoral (Kehutanan, Pertambangan, Pemda dan lainnya), dan ketiga yang diatur oleh masyarakat secara lokal.

Pengaturan oleh masyarakat secara lokal tersebut meliputi: a) bidang-bidang tanah yang diatur oleh masyarakat hukum adat / ulayat, b) bidang-bidang tanah yang diatur berdasar ketentuan Kasultanan/Pakualaman, dan c) bidang-bidang tanah yang pengaturannya berdasarkan norma hukum yang ada di masyarakat lokal / setempat. Sedangkan bidang tanah yang belum ada atau belum pernah dilekati hak berupa tanah timbul (tanah oloran, pantai, gosong/endapan sungai, delta dsb), pulau kecil, bantaran sungai dan sebagainya.

Perbedaan pengertian megenai tanah negara dapat dipahami dari adanya pendefinisian yang berbeda yaitu:
1. Tanah yang langsung dikuasai Negara
2. Tanah hak yang habis jangka waktunya
3. Tanah yang belum pernah dilekati hak
4. Tanah yang berupa hutan alam, cagar alam dan cagar budaya
5. Tanah yang dikuasai dan atau digunkan instansi Pemerintah
6. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yaitu tanah-tanah yang bukan tanah hak (menurut UUPA), Bukan tanah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan
7. Semua bidang tanah yang tidak diduduki, dikuasai oleh seseorang atau diurus oleh badan/lembaga pemerintah maupun swasta tertentu
8. Semua bidang tanah yang tidak dinyatakan sebagai tanah hak milik perorangan, milik desa, tanah ulayat, tanah dengan status hak erfpacht, tanah konsesi dan sebagainya
9. Tanah yang dikuasai dan atau digunakan instansi pemerintah dan belum dilekati hak
10. Tanah bentukan baru, termasuk tanah yang terbentuk karena proses reklamasi. 

Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No 24 / 1997 meliputi 3 kegiatan utama. Pertama adalah registrasi berupa kegiatan pencatatan data bidang dari aspek hukum dan fisik yang dikenal dengan teknik kadasteral. Kedua, pengesahan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, yaitu bertujuan untuk memperoleh pengesahan secara yuridis mengenai haknya, siapa pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi tanahnya (obyek hak) ada atau tidaknya hak lain yang membebani dan atau permasalahan dimana alat pembuktian berupa dokumen dan lainnya merupakan instrumen utamanya. Ketiga, penerbitan tanda bukti, berupa sertipikat hak atas.


Temuan Studi

Dalam hal penguasaan tanah, ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, dimensi sejarah. Dimensi sejarah mencakup riwayat perolehan tanah yang cukup beragam baik dari waktu perolehan tanahnya, maupun cara memperolehnya. Kenyataan di masyarakat kedua hal tersebut manjadi kendala dalam memperoleh akses hak atas tanah secara formal.

Dimensi yang kedua adalah dimensi hukum. Dimensi hukum adalah jenis hak atas tanah dan jangka waktu berlakunya hak. Berdasarkan jangka waktu hak / perizinan terdapat 3 kelompok jenis hak yakni turun menurun atau selamanya (contoh: Hak Milik berdasar UUPA maupun Adat); jangka waktu tertentu, seperti HGB, HGU, HP berdasar UUPA; dan sementara (Bagi Hasil, Sewa, Gadai). Keberagaman jenis dan jangka waktu hak yang ada di masyarakat menjadi kendala bagi upaya registrasi untuk memberikan kepastian hukum dan perlidungan hukum oleh Pemerintah, baik dalam penentuan jenis hak, prosedur, proses, dan pensyaratannya.  

Dimensi yang ketiga adalah dimensi manajemen pertanahan, berupa belum adanya / belum efektifnya pengarahan peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan berdasarkan RTRW dan pola pengelolaan tata guna tanah merupakan kendala utama bagi pengalokasian lahan untuk usaha investasi, pemberian hak atas tanah, perpajakan serta pengedalian alih fungsi tanah.

Mengenai tanah negara, dari studi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa tanah negara dapat didefinisikan dari statusnya, dari fungsi dan dari terjadinya/terbentuknya. Berdasarkan statusnya, definisi tanah negara adalah bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya. Berdasarkan fungsinya, tanah negara adalah bidang tanah yang berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan. Sedangkan berdasarkan terbentuknya, tanah negara dapat terbentuk karena proses alam maupun buatan manusia (contoh: reklamasi, penimbunan).

Pada kenyataannya, bidang-bidang tanah tersebut telah ada penggarapan/penghunian dengan berbagai jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah, baik untuk usaha non-komersial dan komersial maupun yang berfungi perlindungan dan yang bersifat kepentingan publik (public goods). Subyek hak yang memanfaatkan baik perorangan, instansi/pemerintah, badan hukum maupun lembaga masyarakat adat/ulayat.

Lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas mengelola tanah negara sampai saat ini belum jelas. Kondisi demikian berakibat menjadi sumber permasalahan di lapangan, antara lain dalam bentuk penggarapan tanah tanpa izin, penyerobotan tanah, sengketa / konflik tanah, penggusuran dan sebagainya.

Studi juga menggali permasalahan tentang pendaftaran tanah. Efektifitas pendaftaran tanah atau pensertifikatan tanah yang diharapkan sebagai penopang utama pengelolaan pertanahan dan pembangunan yang berkelanjutan, masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain disebabkan karena prosedurnya yang panjang, ketidakkejelasan proses, dan pensyaratan yang rumit serta biaya yang tidak terjangkau masyarakat umumnya. Itu semua merupakan permasalahan klasik yang selalu muncul dalam setiap diskusi maupun pendataan di tingkat pemegang hak.

Dari analisa data di BPN dengan asumsi bahwa pertumbuhan bidang tanah mencapai sekitar 2,0% per-tahun maka diperkirakan pada tahun 2005 jumlah bidang tanah yang perlu disertifikatkan sekitar 80 juta bidang tanah (di luar hutan). Sedangkan kemampuan BPN dalam lima tahun terakhir adalah sekitar 1,5 juta bidang/tahun. Apabila kemampuan ditingkatkan sebesar 2 juta bidang/tahun maka diperlukan waktu lebih 20 tahun untuk menyelesaikannya. Waktu selama itu akan semakin berpotensi untuk timbulnya berbagai masalah pertanahan akibat perkembangan penduduk, perkembangan politik, sosial ekonomi dan sosial budaya serta adanya pengaruh global.

Rekomendasi Studi

Dalam menyusun rekomendasi studi, maka digunakan landasan konspetual bahwa penyederhanaan perangkat penguasaan tanah dan pengelolaan tanah negara, merupakan bagian tidak terpisahkan dengan pembangunan dan pengembangan siatem administrasi pertanahan nasional, daerah maupun lokal. Sistem administrasi tanah di masa depan diharapkan mampu sebagai sarana mengatur dan menentukan hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sarana pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan berkelanjutan serta sebagai sarana pengendalian hak penguasaan tanah.

Pengelolaan pertanahan (land menagement) pada hakekatnya mengatur hubungan antara subyek dan obyek hak dalam kaitannya penguasaan dan penggunaan tanah. Selain kepastian hak penguasaan tanah diperlukan kepatian peruntukan pengunaan dan pemanfaatan untuk memberikan rasa aman bagi pemegang hak /penggarap/pengguna. Sedangkan kegiatan registrasi tanah (kadasteral) adalah upaya membangun sistem informasi dasar (SDIs) pertanahan, dan merupakan awal pembangunan infrastruktur sistem administrasi tanah.

Landasan kebijakan yang dianut adalah pemahaman bahwa tanah dalam wilayah negara RI merupakan aset Bangsa, dan hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat, diberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Negara juga diberi kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga diberi kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semua itu dalam batas-batas agar bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat.

Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian kita semua adalah bahwa penyederhanaan perangkat penguasaan tanah serta pendefinisian dan pengelolaan tanah negara, merupakan sebagian upaya operasionalisasi amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Tap MPR / IX / 2001 yaitu pembaharuan pengelolaan pertanahan dan sumberdaya agraria lainnya secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.

Atas dasar pemikiran di atas, studi ini merekomendasikan 3 hal: tentang penyederhanaan perangkat penguasaan; tentang tanah negara dan pengelolaannya; dan tentang pendaftaran tanah.

Rekomendasi pertama: penyederhanaan perangkat penguasaan.

1. Penyederhanaan penguasaan tanah meliputi perumusan dan penyederhanaan dokumen (alas hak) bagi semua kategori penguasaan tanah, dan penyederhanaan jenis hak berdasar jangka waktu

2. Dokumen tanah (alas hak) pada dasarnya adalah fakta penguasaan dan penggunaan / pemanfaatan bidang tanah di lapang, menjadi acuan (benchmark) bagi pengesahan alas hak secara formal.

3. Walaupun keperluan penyederhanaan jenis hak atas tanah secara eksklusif tidak muncul di tingkat pemegang hak, namun dalam kaitan peningkatan fungsi administrasi dalam rangka menanggapi kebutuhan pembanguan berkelanjutan dan dinamika tuntutan global, diajukan konsep penyederhanaan hak penguasaan tanah yang dikaitkan dengan jangka waktu berlakunya dan jenis penggunaan dan pemanfaatan tanahnya, dengan mengelompokkan menjadi tiga hal. Pertama, berdasarkan jangka waktu berlakunya yaitu hak tanpa batas jangka waktu, hak dengan pembatasan janangka waktu tertentu dan hak bersifat sementara. Kedua, berdasarkan pengunaan dan pemanfaataanya yaitu bukan untuk usaha (contoh tempat tinggal); untuk tempat usaha (komersial); untuk kepentingan publik (fasum dan fasos, termasuk tempat peribadatan); dan untuk kepentingan perlindungan / konservasi. Ketiga, kombinasi antara huruf yang pertama dan kedua tersebut menentukan jenis hak penguasaan tanah, hak tanpa batas waktu meluputi untuk perumahan/ tempat tinggal, perlindungan dan konservasi, pertahanan dan keamanan serta untuk kepentingan publik; dengan jangka waktu tertentu misalnya untuk kepentingan komersial / usaha; dan hak yang bersifat sementara meliputi penggunaan dan pemanfaatan yang bersifat sementara (sewa, bagi hasil pertanian, garapan dan sebagainya).

Rekomendasi kedua: Tanah Negara dan pengelolaannya.

1. Tanah Negara didefinisikan sebagai bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya, yang langsung dikuasai Negara dan berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan termasuk tanah-tanah bentukan baru (tanah oloran, tanah endapan baru di pantai maupun sungai atau tanah timbul dan sebagainya).

2. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai aset bangsa mendapat pemahaman yang sama oleh semua pihak masyarakat, instansi dan badan hukum serta pakar, baik untuk tanah maupun sumberdaya. Permasalahannya adalah sejauhmana pemisahan tugas dan fungsi lembaga sebagai pengelola tanah negara, yang pada hakekatnya menjadi personifikasi dari negara, dengan lembaga pemerintah yang bertugas dan berfungsi sebagai pengguna/ pemanfaat tanah sebagai pemegang hak.

3. Untuk pengelolaan tanah negara diajukan rekomendasi sebagai berikut:

a. Tanah negara dalam lingkup nasional, antar sektor dan antar masyarakat adat dikelola oleh lembaga / instansi pemerintah yang bukan sebagai pemegang hak atas tanah atau pengguna tanah.

b. Tanah negara yang pemanfaatannya untuk tujuan / komoditi tertentu dan atau dalam lingkup wilayah tertentu dalam wilayah negara dapat diberikan pengelolaannya kepada Departemen/ Pemda / Lembaga Adat / Masyarakat adat tertentu

Rekomendasi ketiga: Tentang Pendaftaran Tanah.

1. Pemisahan tahapan registrasi tanah (kadasteral) dari kesatuan sistem proses pendaftaran tanah, merupakan kebijakan yang tepat untuk percepatan pemberian kepastian hak atas tanah.

2. Registrasi tanah meliputi semua bidang tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik yang telah ada hak maupun yang belum ada haknya. Percepatan registrasi tanah dibutuhkan untuk membangun Sistem Data Informasi Spasial (SDIs) sebagai pilar utama Infrastruktur Administrasi Pertanahan.

3. Percepatan registrasi tanah harus mengikut sertakan masyarakat secara aktif , dengan penyelenggaraan sensus pertanahan secara nasional. Untuk ini pendataan lapang oleh Pemerintah merupakan upaya mutlak dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari 8 tahun, seluruh bidang tanah, baik yang telah ada hak maupun belum, telah didaftar. Hasil sensus berupa daftar memuat informasi setiap bidang / blok tanah yang berisi data yang terkait semua aspek yang terkait dengan pertanahan. 

Ketiga rekomendasi di atas dalam pelaksanaannya merupakan proses jangka menengah maupun panjang dengan tanpa perubahan sistem pengelolaan pertanahan yang sudah ada secara radikal. Sedangkan hal-hal yang perlu dilakukan guna mendukung rekomendasi tersebut adalah berupa penerapan secara bertahap jenis hak berdasarkan jangka waktu dan pemanfaatan tanah perlu dilakukan. Dalam hal ini masih perlu disepakati nama jenis hak. Kemudian perubahan persepsi bahwa hak atas tanah tidak hanya memberikan kepastian hubungan hukum juga memberikan kepastian peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sebagai konsekuensi jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah dan peralihaannya harus tercatat dalam daftar tanah (buku tanah). Dan terakhir pemahaman bahwa tanah negara sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, harus dikelola oleh lembaga / Departemen tersendiri yang terpisah dari lembaga/Departemen yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya memerluka hak penguasaan pemilikan atas tanah.


Tidak ada komentar: