Selasa, 03 Maret 2009

Paradigma Grosse Akta Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Paradigma Grosse Akta Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 

Dunia usaha dengan bank mempunyai korelasi yang erat dan notaris berperan dalam menjembatani kepentingan kedua belah pihak antara lain menuangkan suatu kejadian di bidang ekonomi dalam suatu bentuk hukum. Pengusaha memerlukan akta notaris yang merupakan bukti sempurna yang dapat melindungi hak dan kewajibannya dalam kedudukannya sebagai debitur demi mendapatkan kepastian hukum sedang pihak-pihak bank membutuhkan jasa notaris dalam hal pengikatan jaminan dan dalam mengeluarkan suatu grosse dari akta pengakuan hutang yang dapat berfungsi sebagai alat bukti atau kekuatan pembuktian (bewijskracht) dan mempermudah eksekusi. 

Tidak semua perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk akta notaris. Umumnya bank-bank pemerintah mempergunakan perjanjian di bawah tangan yang sudah baku/standar (standaard form) melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari sengketa walau sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara mudah dan cepat. Jadi debitur dan kreditur membutuhkan suatu akta yang dapat mengamankan kepentingan masing-masing. 

Permasalahannya adalah : Bagaimanakah paradigma grosse akta dan kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia ; apakah lembaga grosse akta dapat mendukung upaya penegakan hukum di Indonesia dan bagaimana eksistensi grosse akta notaris sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. 

Metode penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan empiris. Lokasi penelitian di Kota Medan yaitu pada Kantor Notaris. Alat pengumpulan data primer adalah studi dokumen, observasi lapangan dan pedoman wawancara. Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat kreditur meminta agar netarts menerbitkan grosse akta (notarieele schuldbrieven) dilandasi pertimbangan apabila debitur wanprestasi dapat langsung dieksekusi tanpa melalui proses persidangan yang memakan waktu yang lama. 

Dalam kenyataannya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan di Indonesia masih perlu direalisasikan. Grosse Akta satu-satunya sarana penegakan hukum di Indonesia di luar peradilan umum, khususnya terhadap transaksi bisnis yang dituangkan dalam akta notariil yang kemudian diterbitkan grosse aktanya. 

Perlawanan yang diajukan debitur/pihak ketiga tidak mengurangi eksistensi grosse akta sebagai sarana penegakan hukum. 

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang dapat diterbitkan grosse aktanya adalah "akta pengakuan hutang," dengan demikian di luar akta tersebut tidak dibenarkan oleh undang-undang diterbitkan grosse aktanya. 

Disarankan para notaris, Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung serta pihak bank duduk bersama untuk merumuskan akta perjaniian kredit yang dapat diterima semua kalangan, sehingga terdapat keseragaman mengenai grosse akta, serta segera merevisi Pasal 1 ayat (11) tersebut. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar Ambtenaal') yang satu-satunya berwenang untuk membuat semua akta otentik hendaknya betul-betul menerbitkan grosse akta sesuai dengan amanat pembuat undang-undang.


Tidak ada komentar: